Melalui blog ini saya ikut berduka cita atas kepergian Leony Alvionita. Seorang pelajar siswi SMP Tabanan - Bali. Kematian siswi berusia 14 tahun ini cukup mengejutkan dunia pendidikan nasional karena siswi belia ini memilih untuk bunuh diri karena diduga stres akibat sulitnya mengerjakan soal Ujian Nasional Matematika. Leony memilih untuk pergi selamanya daripada melanjutkan perjuangannya pada ujian nasional hari berikutnya.
Saya prihatin, karena sebenarnya sebuah proses belajar, apalagi pada masa remaja, adalah sebuah proses yang seharusnya menyenangkan dan menumbuhkan, bukan menghancurkan. Dan sebuah ujian sebenarnya adalah puncak pesta dan kegembiraan belajar, bukan sebuah hari penghakiman atas sebuah nilai manusia / pelajar yang mengalaminya.
Apakah Leony seorang pelajar di bawah rata-rata ? Ternyata tidak, Leony adalah seorang siswi dengan kemampuan akademik yang cukup menonjol. Dan selama ini Leony telah belajar dan mengikuti bimbingan belajar untuk menghadapi ujiannya. Dengan kata lain, Leony bukanlah pelajar yang tidak siap menghadapi ujian, Leony siap. Tetapi mengapa kenyataan di ujian membuat Leony memilih opsi bunuh diri daripada menghadapinya ?
Memang....dan betulll....hanya ada SATU ORANG yang bunuh diri dari sekian banyak pelajar SMP yang mengikuti ujian nasional. Tetapi SATU ORANG tersebut yaitu Leony seharusnya sudah cukup untuk membuat otoritas pendidikan di Indonesia berpikir dengan serius tentang kebijakan dalam ujian nasional.
Hidup memang keras, kadang pendidik berpikir bahwa karena hidup keras, maka pelajar harus diperhadapkan pada sesuatu yang keras juga untuk menghadapinya. Tetapi kita lupa bahwa tingkat kekuatan seseorang tidaklah sama. Dunia belajar, secara organisasi adalah kegiatan massal, tetapi hakekat dari belajar itu sendiri sebenarnya adalah sangat personal. Penyamarataan asumsi pada dunia pendidikan akan menghambat proses pendidikan itu sendiri.
Dunia pendidikan harus mulai berbenah, mengubah paradigma bahwa mendidik adalah sama dengan memberikan beban. Dunia pendidikan adalah tempat di mana seorang pelajar seharusnya diajarkan untuk bisa beradaptasi dan pandai mengelola emosi dalam situasi apapun.
Sanksi sosial karena kegagalan, begitu menghantui siswa selama ini, sekolah bukan tempat yang toleran untuk berlatih menghadapi kegagalan. Ketakutan semacam ini, apalagi dengan perubahan-perubahan yang tiba-tiba dan tidak smooth, mengakibatkan ketakutan tersebut menjadi sebuah stres, yang mengakibatkan seseorang kehilangan rasionalitasnya, dan memilih untuk lari dari tantangannya. Dan bunuh diri adalah ekses dari proses ini, ketika stres menguasai,dan akses ke kemampuan berpikir dihilangkan.
Di dunia bela diri ada semacam matras, yang memungkinkan siswa bela diri bisa belajar terjatuh tanpa terluka, dan memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi kemampuan dirinya dengan bebas. Seharusnya sekolah mempunyai "matras" semacam ini. Siswa diajarkan bahwa dalam kehidupan ada sebuah cerita sukses dan cerita gagal. Dan sebuah sekolah adalah tempat yang aman untuk berlatih sukses dan gagal. Sekolah adalah tempat seseorang diterima dengan baik, apapun yang sedang mereka alami, alih-alih dihakimi. Jika seseorang sudah terlatih dengan baik dalam proses berhasil dan gagal di sebuah sekolah, maka di dunia nyata pun mereka akan tetap berperilaku sama, mereka akan menjadi orang-orang yang kuat dan tegar dalam keberhasilan atau kegagalan. Dan generasi seperti ini akan menjadi generasi yang menumbuhkan, karena mereka pun nantinya tidak akan menjadi hakim atas orang lain, baik dalam lingkungan kerja atau masyarakat. Mereka akan terbiasa untuk membangun dan bangun dari dua proses yaitu berhasil dan gagal secara harmonis.
Semoga paradigma pendidikan kita dan dunia sekolah akan mampu menghasilkan sebuah sistem yang baik untuk sebuah pendidikan. Dan tetap dimungkinkan bahwa seorang anak remaja berusia 14 tahun tetap bisa hidup dengan wajar, walaupun tidak bisa mengerjakan soal ujian nasional yang kebetulan sulit.
Selamat jalan Leony.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar